Tugas
Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan Dalam Perspektif FIQIH
Puasa Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah merupakan
ibadah yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Robb-nya (‘Alaqat
al-insan bi kholiqihi) atau dengan kata lain ibadah mahdhah (ritual),
maka pelaksanaan teknis dari ibadah tersebut harus mengikuti tata cara
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT yang disampaikan melalui Rosul-Nya
(tauqify). Banyak orang di kalangan kaum muslimin yang beribadah tanpa
mengetahui ilmunya, sehingga disisi Allah SWT pahala aktivitas itu
kurang bahkan mungkin malah tidak diterima karena pelaksanaan ibadah
itu malah bertentangan dengan aturan-aturan Allah. Untuk itu supaya
kita memahami tentang Puasa/shaum Ramadhan terutama mengenai penentuan
awal dan akhir Ramadhan, tulisan singkat ini mencoba untuk mengupasnya
(tulisan ini tidak membahas fiqh shiyam secara khusus, hal ini perlu
dipelajari oleh kaum muslimin secara khusus pula). Dalam tulisan ini
menitikberatkan pada pembahasan fiqh, adapun pembahasan secara
astronomi akan ditulis pada tulisan terpisah.
Dasar Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan
Dalam hal penentuan/penetapan awal dan akhir Ramadhan terdapat beberapa hadist Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda :
« صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ »
“Berpuasalah kalian jika melihat hilal, dan berbukalah kalian jika
melihat hilal. dan jika (penglihatan kalian) terhalang oleh mendung,
maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan bulan Sya’ban itu tiga
puluh hari” (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah)
Beliau SAW juga bersabda :
وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ -
رضى الله عنه - يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ
عَلَيْكُمُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ »
“Berpuasalah kalian jika melihat hilal, dan berbukalah kalian jika
melihat hilal, dan jika (penglihatan kalian) terhalang oleh mendung,
maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangannya menjadi tiga puluh hari.”
(HR. Muslim melalui Abu Hurairah)
Rasulullah SAW juga bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله
عنهما - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « الشَّهْرُ
تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ »
“Satu bulan ada 29 hari, maka janganlah kalian puasa hingga kalian
melihat (hilal). Apabila (penglihatan kalian) terhalang oleh mendung,
maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangannya 30 hari.” (HR. Bukhari
dari Ibnu Umar)
Beliau SAW juga bersabda:
اِنَّ اللهَ جَعَلَ الْاَهِْلَةَ مَوَاقِيْتً فَإِذَا رَاَيْتُمُوْاهُ
فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَاَيْتُمُوْاهُ فَأفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ وَاعْلَمُوْا اَنَّ الْاَشْهَارَ لَاتَزِيْدُ
عَلَى ثَلَاثِيْنَ
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulat sabit sebagai tanda awal
bulan. Jika kalian melihatnya (bulan sabit Ramadhan), berpuasalah. Dan
jika kalian melihatnya (bulan sabit Syawal), berbukalah. Apabila
penglihatanmu terhalang maka genapkanlah hitungannya menjadi 30 hari.
Ketahuilah, setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari.” (HR. Imam
Al Hakim, lihat Mustadrak jilid I hal. 423).
Sementara itu berikut adalah pendapat Imam Mazhab dalam memaknai hadist-hadist Rasulullah SAW tersebut.
“Apabila telah terbukti adanya rukyat disuatu negeri, maka diwajibkan
shaum atas seluruh negeri-negeri lain, tanpa mempertimbangkan lagi
adanya perbedaan jarak, baik negeri-negeri tersebut dekat ataupun jauh
dengan syarat bahwa ru’yat sampai kepada mereka melalui salah satu cara
yang mewajibkan shaum sesuai dengan syarat-syarat yang layak dipercaya.
Tidak diperhatikan lagi perbedaan mathla’ (tempat munculnya bulan) sama
sekali, hal ini menurut pendapat tiga mazhab (Maliki, Hambali, Hanafi).
Adapun pengikut imam Syafi’i berpendapat, apabila telah terbukti ru’yat
disuatu tempat, maka daerah-daerah yang berdekatan dengan tempat yang
bersangkutan wajib berpuasa berdasarkan bukti tersebut. Jarak yang
berdekatan itu dapat diukur/ditentukan dengan mathla’ (lebih kurang
dari 24 farsakh atau kurang lebih 120 km). Sedangkan penduduk yang
berada di wilayah yang jauh, maka tidak wajib shaum berdasarkan ru’yat,
karena perbedaan mathla’. (lihat kitab Al Fiqh ‘ala al Madzahib al
Arba’ah jilid I hal. 550).
Menurut Imam Malik, apabila penduduk kota Basyrah (Irak) melihat bulan
sabit Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kuffah, Madinah dan Yaman,
maka wajib atas kaum muslimin berpuasa berdasarkan ru’yat tersebut.
Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat ( lihat
al-Qurthuby, Jilid II hal 296).
Menurut Mazhab Hanafi “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat
dijadikan pegangan, begitu pula melihat bulan sabit di siang hari
sebelum dhuhur atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini penduduk negeri
Timur (dari Madinah) harus mengikuti (ru’yat) kaum muslimin yang ada
dibelahan barat (dari Madinah), jika ru’yat mereka dapat diterima”
(syah menurut Syara’). (lihat Kitab Ad-Darul Mukhtar wa Raddul
Mukhtar, jilid II hal 131-132 dari Imam Hafsaky).
Mazhab Imam Ibnu Hambal menegaskan, apabila ru’yat terbukti disuatu
tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum muslimin harus
melakukan puasa Ramadhan (lihat Kitab Mughniyul Muhtaj, Jilid II hal
223-224).
Sebagian pengikut madzhab Maliki seperti Ibnu Al Majizuun menambahkan
syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib
atas penduduk suatu negeri mengikuti ru’yat negeri lain, kecuali hal
itu telah terbukti dan diterima oleh imammul ‘adzam (Khalifah). Setelah
itu, seluruh kaum muslimin wajib berpuasa, sebab seluruh negeri
bagaikan satu negeri. Dan keputusan Khalifah berlaku bagi seluruh kaum
muslimin” (Nailul Authar, Jilid II hal 218).
Ibnu Umar meriwayatkan “Masyarakat beramai-ramai mencari ru’yat (bulan
Ramadhan), lalu aku memberitahukan kepada Rasulullah, bahwa aku telah
melihatnya beliau lalu melakukan puasa dan seluruh masyarakat juga
melakukannya. (Nailul Authar, Jilid IV hal 209).
Ketentuan Syar’i dalam hadist-hadist diatas ditunjukan bagi seluruh
kaum muslimin, tanpa ada perbedaan antara yang tinggal di Irak dengan
Syam, Hijaz dan Mesir ataupun Indonesia.
Dalam hadist tersebut Rasulullah SAW menggunakan kata (صُومُوا)
Shuumuu dan (أَفْطِرُوا) Aftiruu yaitu menggunakan “wau jama’ah”
menunjukan bagi seluruh kaum muslimin. sedangkan kalimat ِ
(رُؤْيَتِهُ) ِrukyatuhu adalah ismul jinsi yang dirangkai dengan kata
ganti orang ke-3 tunggal artinya rukyatul hilal yang dilakukan oleh
siapapun.
Terdapat beberapa hadist yang memperkuat bahwasanya rukyat ditujukan
bagi seluruh kaum muslimin. Diantaranya diriwayatkan dari Ibnu Abbas
bahwa seorang (arab) Badwi datang kepada Rasulullah seraya berkata :
“Saya telah melihat hilal, Rasulullah lalu bertanya, “apakah kamu
bersedia bersaksi bahwasannya tidak ada Illah kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah?” ia menjawab : “ya”, kemudian Nabi SAW
memerintahkan kami berpuasa”.
Perintah Rasulullah SAW dalam hadist-hadistnya mengenai shaum Ramadhan
apabila melihat hilal adalah perintah wajib, karena perintah untuk
melaksanakan suatu amal yang bersifat pasti (jazm), sesuai dengan
firman Allah SWT dalam QS 2:185, perintah untuk berbuka (mengakhiri
Ramadhan) apabila melihat hilal syawal juga perintah wajib karena
Rasulullah SAW melarang berpuasa didua hari raya, Idul Fitri dan Idul
Adha.
Hadist-hadist Rasulullah SAW ini secara eksplisit menjadikan bahwa
penyebab sah secara syar’i untuk mengawali Ramadhan adalah dengan
melihat bulan sabit (ru’yat hilal) Ramadhan dan penyebab sah secara
syar’i untuk mengawali Idul Fitri adalah melihat bulan sabit (rukyat
hilal) Syawal.
Dengan demikian jelaslah bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan yang
syah menurut syara adalah dengan melihat hilal (The First Visible
Crescent) atau Rukyatul Hilal. Dimana rukyat hilal atas bulan Ramadhan
maupun syawal oleh seorang muslim mewajibkan seluruh kaum muslimin
untuk berpuasa atau berbuka (Idul Fitri).
Rukyat Lokal atau Rukyat Global?
Dalam kaitannya dengan perbedaan antar daerah dimana hilal terlihat
(muncul) pada waktu tertentu (Ikhtilaf al mathaali’) yang digunakan
sebagian orang sebagai hujjah maka sebenarnya hal ini adalah bagian
dari pemahaman atas fakta (tahqiqul manath) atau bagian dari manathul
hukmi yaitu fakta yang kepadanya diperlukan solusi hukum Syara’. Dalam
hal ini maka yang diperlukan tidak hanya terpaku pada nash-nash yang
ada tapi diperlukan juga pengetahuan yang mendalam tentang realitas
dari fakta tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai mathla’ ini, seperti dijelaskan
sebelumnya qarinah-qarinah (indikasi) dari hadist-hadist Rasulullah
tentang shaum Ramadhan dan kesepakatan para Imam Mazhab telah dengan
jelas menyimpulkan bahwa wajib atas kaum muslimin dimanapun diseluruh
dunia untuk mengawali dan mengakhiri Ramadhan serentak pada waktu yang
bersamaan/pada hari yang sama [Hari disini adalah tanggal 1 Ramadhan
dimana dalam sistem penanggalan Hijriah (Lunar System) satu hari
dimulai dari matahari terbenam(maghrib) ke maghrib esok harinya] atau
dengan kata lain disebut “Rukyat Global”.
Akan tetapi kenyataan sejarah mencatat bahwa pada saat itu sejak zaman
Rasulullah SAW sarana transportasi, dan komunikasi belum semodern
sekarang apalagi jazirah arab begitu luas yaitu seluas 1.200.000 mil
persegi sama dengan 4 kali luas Jerman dan Prancis dengan luas seperti
itu, maka apabila ingin menyampaikan berita dari sebelah utara ke
selatan dengan menggunakan onta diperlukan waktu 7 bulan 11 hari.
Sehingga dengan fakta seperti itu memerlukan pemecahan hukum. Dengan
demikian wajar apabila Rasulullah sendiri membiarkan penduduk Nejed dan
daerah-daerah lain yang jauh dari Madinah berbeda dalam mengawali dan
mengakhiri Ramadhan. Demikian juga sikap yang diambil oleh para
Khalifah setelah Beliau, apalagi waktu itu luas daerah Daulah Khilafah
semakin luas. (lihat Musnad Imam Ahmad VI/18 917).
Tindakan Rasulullah SAW dan para Khalifah tersebut merupakan pemecahan
problem yang ada waktu itu, yaitu sulit mengabarkan rukyat di Madinah
kepada kaum muslimin yang tinggal ditempat-tempat yang jauh dalam
tempo singkat, sehingga terjadi apa yang disebut “Rukyat Lokal”.
Akan tetapi sebagai bukti kekonsistenan Beliau SAW dalam perintahnya
mengenai mengawali dan mengakhiri Ramadhan dengan “Rukyat Global”, dan
adanya “Rukyat Lokal” hanyalah pemecahan atas fakta yang ada saat itu
adalah hadist yang diriwayatkan oleh sekelompok orang Anshar yang
mengatakan :
“Hilal Syawal tertutup oleh mendung (hingga penglihatan) kami
terhalang, maka kamipun bangun untuk melaksanakan puasa pada hari
berikutnya. Beberapa musafir datang ke Madinah menjelang berakhirnya
hari (petang hari), lalu mereka bersaksi dihadapan Rasulullah SAW bahwa
mereka telah melihat hilal (bulan sabit) pada hari sebelumnya. Maka
Nabi SAW memerintahkan mereka (penduduk Madinah) langsung berbuka dan
melaksanakan shalat Ied keesokan harinya.” (Lihat Nailul Authar, jillid
IV, hal 211).
Jadi perintah Rasul SAW kepada kaum muslimin untuk berbuka saat itu
juga - padahal saat itu masih dianggap termasuk bulan Ramadhan –
disebabkan adanya berita dari beberapa orang dari luar kota Madinah
yang melihat hilal Syawal diluar kota Madinah. Para musafir itu
melihat hilal satu hari sebelum mereka tiba di kota Madinah. Dengan
demikian jika Rasul SAW berpegang pada “Rukyat Lokal” (rukyat dikota
Madinah) mengapa beliau menerima rukyat dari daerah lain bahkan
langsung memerintahkan kaum Muslimin berbuka saat itu juga?
Dengan demikian, seperti disebutkan diatas, sebagian kaum muslimin yang
berpegang pada pendapat rukyat berdasarkan mathla’ terutama dari
kalangan pengikut madzhab Imam Syafi’i syubhat dalil (dalil yang
diperselisihkan) yang dijadikan dasar pegangan oleh mereka adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Kuraib, bahwa:
“Ummu Fadhl binti Haritsah mengutusnya kepada Mu’awiyyah di negeri
syam, kata Kuraib: “Lalu aku ke Syam dan menyelesaikan keperluan Ummu
Fadhl itu. Ketika bulan Ramadhan tiba aku masih berada di Syam dan aku
telah melihat bulan pada malam Jumat, kemudian aku kembali ke Madinah
diakhir bulan (Ramadhan), ketika itu Abdullah bin Abbas bertanya
tentang hilal kepadaku. Ia bertanya: “Kapan engkau melihat bulan?”,
kujawab: “Kami melihat bulan pada malam Jumat”, ‘Engkau melihatnya
juga?’ tanya Ibnu Abbas. “Ya, juga orang-orang lain melihatnya dan
mereka shaum, termasuk Mu’awiyyah pula”. Ibnu Abbas berkata:”Tetapi
kami (di sini) melihatnya pada malam Sabtu. Jadi kami tetap shaum
sampai genap 30 hari atau sampai kami melihatnya (kembali). Aku
bertanya:”Mengapa tidak mengikuti rukyat Mu’awiyyah saja dan ikut
shaum?” Ibnu Abbas berkata:”Tidak sebab demikianlah perintah Rasulullah
SAW kepada kami.”
Fakta dari hadist ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas telah melakukan
ijtihad dalam masalah ini dan menentukan pendapatnya menurut yang
beliau pahami dari hadist Rasulullah SAW :”Shaumlah kalian jika melihat
bulan (hilal) dan berbukalah (‘Ied) karena kalian melihat bulan.”
Seperti yang telah dijelaskan di awal makalah ini.
Tatkala beliau berkata “demikianlah perintah Rasulullah SAW kepada
kami” beliau bermaksud menegaskan hadist diatas. Namun demikian
ijtihad beliau ini mengandung kesalahan dalam memahami fakta seperti
yang dijelaskan diatas, ternyata kekeliruan ini diikuti oleh
tokoh-tokoh madzhab Syafi’i.
Apalagi jika konsisten dengan jarak mathla’ yang 120 km, maka dapat
dibayangkan setiap jarak 120 km berbeda mengawali Ramadhan, apalagi
secara ilmu pengetahuan fakta ini sudah tidak lagi dapat diterima,
karena tiap 120 km perbedaan waktu itu hanya 4 menit saja, apalagi jika
ada orang berjalan dari utara ke selatan mengkiti garis bujur bumi maka
dia akan ada pada daerah waktu yang sama.
Kedudukan Hisab (perhitungan astronomi) dalam Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan
Perlu dijelaskan disini bahwa bagi yang mengikuti hisab dan yang
menjadikannya dasar untuk menentukan awal bulan tanpa mengikuti rukyat,
maka pendapat mereka masih dapat dikatakan bertolak dari syara’ karena
mereka mempunyai dalil yang dimengerti dari sebuah hadist Rasulullah
SAW:
”Sesungguhnya kita adalah ummat yang ummi (buta huruf), tidak dapat
menulis dan berhitung, maka shaumlah kalian jika melihat bulan dan
berbukalah kalian karena melihat bulan.” (Shahih Bukhari jilid IV hal.
108, Muslim no. 1080).
Mereka memahami bahwa ‘illat (sebab munculnya/wujudnya hukum) untuk
rukyat karena orang-orang saat itu masih awam, tidak mengerti seluk
beluk ilmu astronomi, tetapi jika sudah mampu dalam ilmu hisab, maka
tidak perlu rukyat lagi. Ini adalah pendapat yang masih bertolak dari
Islam, oleh karena itu tidak boleh kita meremehkan pemahaman
orang-orang ini apabila mereka menjadikannya sebagai dasar
ijtihad/pemahaman.
Dewasa ini perhitungan di bidang astronomi (hisab) amat akurat dengan
tingkat ketelitian yang amat tinggi dengan demikian kaum muslimin dapat
memanfaatkan ilmu ini. Dibolehkan untuk memanfaatkan hisab, sebab
syara tidak melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan/melakukannya,
akan tetapi syara’ mengkaitkan shaum, iedul fitri dan ibadah haji
dengan rukyat seperti dijelaskan diatas. Terdapat juga pendapat dari
kalangan yang berpegang pada hisab saja yang mengatakan bahwa kondisi
ummat yang tidak ummi lagi mengkhususkan hanya hisab saja tidak perlu
rukyat. Namun berangkat dari pemahaman ushul fiqh, pemahaman itu tidak
dapat dijadikan “takhsis” bagi hadist-hadist Rasulullah SAW tentang
shaum Ramadhan, sehingga sesuai kaidah ushul fiqh “Hukum yang bersifat
umum tetap pada keumumannya sebelum datang dalil yang mengkhususkannya”.
Selain itu dari kalangan mereka juga ada yang beralasan bahwa lafadz
“ra’a” asal kata dari rukyat secara bahasa bisa berarti berpikir tidak
hanya berarti melihat, dengan demikian berpikir berarti menghitung
(hisab). Tapi alasan tersebut dengan sendirinya terbantahkan melalui
teks hadist-hadist Nabi SAW diatas karena kelanjutan kalimat hadist itu
berbunyi “jika pandanganmu terhalang, maka genapkanlah bilangan syaban
itu tigapuluh hari” sehingga dapat kita pahami bahwa rukyat disana
berarti “melihat” bukan “berpikir” karena berpikir apa yang terhalang
dengan awan?.
Jadi dibolehkan menggunakan hisab untuk mendukung rukyatul hilal
sehingga kita dapat mudah mengetahui kapan dan dimana posisi hilal akan
tampak dari bumi dengan jelas. Sebagaimana kita boleh menggunakan alat
bantu (teleskop kamera infra merah) untuk dapat melihat bulan dengan
mudah walaupun terhalang awan. Bahkan dengan ilmu astronomi ini,
perintah Rasulullah SAW tentang rukyat yang bersifat global semakin
terbuktikan.
Penyatuan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Kesatuan Ummat
Sesungguhnya penyatuan awal dan akhir Ramadhan bukanlah sebab yang akan
menyebabkan ummat Islam bersatu, dia lebih merupakan produk dari
kesatuan ummat dibawah satu institusi yang bersifat mondial yang
dipimpin oleh seorang pemimpin bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Berbedanya kaum muslimin saat ini dalam mengawali dan mengakhiri
Ramadhan hanya satu dari sekian ratus mungkin ribu perselisihan dan
masalah dari kaum muslimin itu sendiri.
Khusus dalam masalah awal dan akhir Ramadhan ini, perbedaan tidak hanya
terjadi pada kelompok yang berpegang pada rukyat dan hisab saja, tetapi
diantara kelompok yang rukyat atau hisab di dalam mereka pun terdapat
perbedaan dalam melakukan rukyat atau hisab sesuai pemahaman
masing-masing.
Maka dengan demikian, walaupun penyatuan awal dan akhir Ramadhan ini
dapat dijadikan suatu titik awal penyatuan ummat Islam, tapi tetap
harus kita pahami bahwa dia bukan menjadi sebab ummat ini bisa bersatu.
Perbedaan yang ada sekarang lebih disebabkan oleh rasa kebangsaan
(nasionalisme) dan sentimen politik yang ada di negeri-negeri kaum
muslimin. Walaupun pemerintah/penguasa mereka mengatakan bahwa mereka
mengikuti madzhab Imam Syafi’i akan tetapi kenyataannya mereka tidak
demikian, karena kalau mengikuti madzhab tersebut maka mathla’ harus
berjarak 120 km. Namun mengapa kemudian yang menjadi mathla’ adalah
batas-batas teritorial (wilayatul hukmi) masing-masing negara tersebut?
Akhirnya mungkin sering terjadi kejadian-kejadian “lucu” terutama di
daerah-daerah perbatasan, bisa jadi antar rumah yang berhadapan yang
hanya dibatasi oleh pagar namun beda negara mengawali dan mengakhiri
Ramadhan berbeda satu hari.
Belum lagi kalau kita sadari bahwa batas-batas teritorial itu hanyalah
garis-garis yang dibuat diatas peta oleh penjajah yang
mengkotak-kotakkan kita menjadi negara-negara kecil yang tidak berdaya.
Sebagai bukti bahwa tanpa institusi politik yang bertugas menerapkan
hukum-hukum Islam (Kiyan Tanfidzi) kita akan sulit bersatu tampak pada
kondisi negara kita. Sejak lama telah berdiri Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama yang setiap tahun melakukan sidang itsbat untuk
menentukan awal dan akhir Ramadhan, tapi pada faktanya tetap saja di
masyarakat ada perbedaan yang kadang perbedaan itu sangat parah karena
Iedul Fitri bisa terjadi dalam 2 bahkan 3 hari yang berbeda. Demikian
juga di tingkat ASEAN pernah dilakukan pertemuan antara Menteri-Menteri
Agama masing-masing negara untuk penyatuan awal dan akhir Ramadhan,
namun hal tersebut tetap sulit dilakukan.
Oleh karena itulah mengapa dalam kaidah Ushul Fiqh terdapat kaidah
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan”. Manakala otoritas
politik pemegang kekuasaan dalam menerapkan hukum Islam ada, dimana
seluruh kaum Muslimin tunduk kepadanya, maka tidak hanya awal dan akhir
Ramadhan saja yang dapat disatukan, tapi potensi kekuatan SDM, SDA
bahkan pasukan dan senjata kaum muslimin dapat bersatu menjadi sebuah
kekuatan yang tidak tertandingi untuk menghilangkan kedzaliman di bumi
ini.
Bagaimana Kita Harus Bersikap Saat Ini?
Pada saat ini, tatkala kaum muslimin tidak lagi bersatu, namun bercerai
berai menjadi hampir lebih dari 50 negara maka sulit kesatuan dalam
berbagai hal bisa terwujud. Akan tetapi bukan berati kita tidak dapat
menjalankan keyakinan dan pemahaman kita salah satunya mengenai
wajibnya mengawali dan mengakhiri Ramadhan serentah untuk kaum muslimin
di seluruh dunia.
Apabila pemahaman kita telah terbentuk mengenai penentuan awal dan
akhir Ramadhan, maka saat ini bagi mereka yang tergabung dalam
jamaah-jamaah dakwah, gerakan-gerakan dakwah Islam atau
kelompok-kelompok kaum muslimin secara umum dapat membentuk jaringan
dengan saudara-saudaranya di nusantara dan di seluruh belahan dunia
untuk mencari informasi tentang datangnya hilal dan menyebarluaskannya
ke seluruh dunia.
Kecanggihan teknologi informasi melalui telepon, faksimili dan internet
memungkinkan kita menerima informasi dari belahan dunia lain dalam
waktu yang amat singkat. Beberapa alamat homepage yang dapat kita
gunakan untuk mencari informasi tentang hilal adalah
www.moonsighting.com.
Namun dalam hal ini tetap kita harus mempunyai dasar pemahaman tentang
aspek-aspek astronomis juga pengetahuan tentang kebenaran sumber berita
baik perorangan atau lembaga, sehingga kita dapat benar-benar yakin
tentang kebenaran berita hilal yang sampai kepada kita.
BULAN RAMADHAN DITETAPKAN DENGAN MENYAKSIKAN BULAN SECARA LANGSUNG
Pada masa awal Islam, para "ahlu as-sabiquunal awwalun"
(pendahulu) tidak ada permasalahan mencolok mengenai awal dan
berakhirnya bulan suci Ramadhan, mereka cukup konsukuen kepada ayat
al-Qur'n: "Maka barang siapa di antara kamu melihat bulan maka berpuasalah" (QS: 02: 185).
Jika mereka tidak melihat lahirnya bulan karena berbagai hal seperti tidak nampak atau terselubung awan tebal, maka mereka mengembalikan kepada hadits nabi SAW: "berpuasa-lah dengan melihat bulan dan akhirlah dengan melihat bulan (Syawal), jika kamu tidak melihanya karena terhalang olehmu maka cukupkan bulan Sya'ban 30 hari, atau cukupkan bulan Ramadhan 30 hari". Inilah dua pedoman utama umat Islam berkaitan dengan Bulan suci Ramadhan. Tidak ada pedoman ketiga ....
Jika mereka tidak melihat lahirnya bulan karena berbagai hal seperti tidak nampak atau terselubung awan tebal, maka mereka mengembalikan kepada hadits nabi SAW: "berpuasa-lah dengan melihat bulan dan akhirlah dengan melihat bulan (Syawal), jika kamu tidak melihanya karena terhalang olehmu maka cukupkan bulan Sya'ban 30 hari, atau cukupkan bulan Ramadhan 30 hari". Inilah dua pedoman utama umat Islam berkaitan dengan Bulan suci Ramadhan. Tidak ada pedoman ketiga ....
Permasalahan
kemudian berkembang sejalan dengan kemajuan sains modern, khususnya
setelah penemuan teleskop tercanggih dan observasi besar-besaran ke
angkasa luar setelah paruh kedua abad ke-20, maka manusia pun mampu
mengawasi benda-benda langit yang sangat jauh termasuk memantau lahir
dan matinya hilal (bulan baru). Nah, seberapa besar tingkat
akurasi perhitungan hasil teknologi rekayasa ini, dan berapa persen
tingkat ketepatannya menghitung dan mengukur perjalanan benda-benda
langit?
Penulis
tidak ingin membahas lebih panjang di sini teori bagaimana mereka
menghitung dan mempradiksikan lahir dan matinya bulan, dengan
mempergunakan teleskop tercanggih mengintai fase-fase bulan dengan
ukuran skala derajat tertentu dan angka-angka digital yang panjang
seperti halnya memantau janin dalam rahim ibunya dengan alat USG. Fakta
mengatakan, hisab atau perhitungan manusia hanyalah sebatas
mendekati tingkat ketepatan saja, tidak ada satupun yang benar-benar
akurat lebih dari titik 99 %, jauh dari hitungan 100 % atau
meragukan.
Lalu, dapatkah hasil teknologi rekayasa (hisab)
ini diterapkan dalam urusan beribadah ketaatan kepada Allah SWT seperti
menjelankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini? Kongkritnya,
prinsif beribadah dalam Islam bukan saja ditentukan oleh derajat
ketepatan atau akurasi waktu pelaksanaannya, tetapi yang diutamakan
adalah keyakinan hati dan ketenteraman jiwa dalam melaksanakan ibadah
tersebut. Tidak boleh ada keragu-raguan dalam menjalankan ibadah
sedikitpun.
Maka perlu ada pedoman jelas yang bukan saja dapat mendeteksi dan memastikan tetapi juga harus meyakinkan hati melalui indra. Bukankah nabi Ibrahim as pernah memohon kepada Allah untuk diperlihatkan secara langsung proses menghidupkan mayat? Ibrahim bukanlah seorang yang tidak beriman, tetapi hanya ingin meyakinkan hatinya saja. Begitu pula nabi Musa as yang memohon melihat Tuhan. Ini suatu bukti bahwa media yang paling akurat untuk meyakinkan hati adalah indra atau penglihatan dengan mata kepala sendiri...
Oleh karena itu, dalam agama terakhir ini Allah mewanti-wanti dan berfirman: "Alif Laam Miim, itulah kitab (al-Qur'an) yang tidak terdapat di dalamnya keraguan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa" (QS: 02: 1-2). Inilah yang akan menjadi kajian kita selanjutnya dalam menafsirkan ayat-ayat puasa ini.....
Maka perlu ada pedoman jelas yang bukan saja dapat mendeteksi dan memastikan tetapi juga harus meyakinkan hati melalui indra. Bukankah nabi Ibrahim as pernah memohon kepada Allah untuk diperlihatkan secara langsung proses menghidupkan mayat? Ibrahim bukanlah seorang yang tidak beriman, tetapi hanya ingin meyakinkan hatinya saja. Begitu pula nabi Musa as yang memohon melihat Tuhan. Ini suatu bukti bahwa media yang paling akurat untuk meyakinkan hati adalah indra atau penglihatan dengan mata kepala sendiri...
Oleh karena itu, dalam agama terakhir ini Allah mewanti-wanti dan berfirman: "Alif Laam Miim, itulah kitab (al-Qur'an) yang tidak terdapat di dalamnya keraguan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa" (QS: 02: 1-2). Inilah yang akan menjadi kajian kita selanjutnya dalam menafsirkan ayat-ayat puasa ini.....
No comments:
Post a Comment